Posted in Author

Jurnal TKD #1

Jurnal TKD #1

 

Hari pertama, 27 Agustus 2018.

Latihan taekwondo pertama kali seumur hidup.

Sehabis shalat ashar dan berganti pakaian menjadi baju kaos dan celana training (aku sendiri mengenakan celana seragam silat), aku dan temanku yang biasa dipanggil Pow langsung menuju PKM alias Pusat Kegiatan Mahasiswa. Sebenarnya di lantai bawah, kami sudah melihat sekumpulan orang berseragam taekwondo yang mulai bersiap untuk latihan. Tapi, kami ‘kan maba alias mahasiswa baru, masih malu-malu untuk bergabung. Jadi, kami putuskan untuk naik ke lantai dua dan menuju ke sekretariat UKM beladiri. Mendaftar, ceritanya.

Tapi senior yang sedang bertugas malah menyuruh kami untuk langsung bergabung dengan anggota yang lain di bawah. Ya jelas kami ragu, lalu minta diantarkan. Tapi kakak itu menolak, katanya ada urusan lain. Yah, pada akhirnya, kami turun lagi ke bawah dan dengan awkward bergabung dengan mereka yang sudah mulai pemanasan.

Latihan pertama yang aku dan teman-teman jalani adalah lari (karena kami terlambat untuk pemanasan pertama) mengitari beranda bagian dalam PKM ini. Aku tidak tahu pasti berapa panjang atau lebar bangunan ini. Yang pasti, aku mengitarinya sekitar hampir dua puluh kali (tidak menghitung secara pasti), dan itu cukup melelahkan. Syukurnya, kondisi badanku sedang cukup fit hingga aku masih punya tenaga untuk berhenti dengan baik. ‘Kan gak lucu kalo langsung pingsan cuma karena lari.

Malu sama anggota taekwondo anak-anak yang masih setinggi lutut.

Tapi jangan salah, sabuknya udah warna merah.

Memang, setengah dari yang hadir latihan saat ini masihlah anak-anak. Mereka sengaja dilatih sedari dini, supaya tidak kesulitan jika memulainya di usia yang sudah cukup terlambat seperti aku. But, no word “late” to learn, right?

Kami lalu lanjut ke pemanasan sesi ke dua yang lebih berfokus pada peregangan. Kami meregangkan semua anggota tubuh terutama kaki yang menjadi alat utama beladiri ini. Disuruh SPLIT, euy. Bagi aku yang jaraaaang banget olahraga ini, split adalah hal paling sulit dalam peregangan. Otot paha dan otot lutut semua tertarik, tegang. Selangkangan benar-benar meregang sampai kita refleks mengaduh sakit.  Mantap lah ini. Meskipun gak bisa split dan hanya bisa mengangkang selebar-lebarnya, tapi aku bertekad untuk bisa split suatu saat nanti melalui latihan ini.

BTW, yang memimpin pemanasan sesi kedua ini adalah si adek bocah sabuk merah. Gilak. Kecil kecil cabe rawit merah dia. Wkwkw.

Ternyata, bukan hanya aku dan Pow yang maba. Ada dua orang lagi maba yang baru bergabung. Keduanya laki-laki. Satu diantara mereka sepertinya pernah ikut Taekwondo, tapi yang satunya lagi kelihatan sama newbie-nya sepertiku. Yah, setidaknya begitu yang aku lihat di latihan sesi selanjutnya yang dipandu oleh seorang sunbaenim sabuk hitam.

Oh iya, aku juga sebenarnya kaget. Walaupun aku tahu Taekwondo berasal dari Korea, tetap saja aku masih WOW dengan penggunaan bahasa Korea di latihan. Jika di karate kita memanggil pelatihnya dengan “sensei”, maka di sini kami memanggilnya “sabeum”. Begitu juga dengan istilah sunbae atau senior, yang sudah sangat tidak asing bagi penggemar Korea sejak lahir sepertiku.

Di latihan ini, kami berempat diajarkan teknik dasar menendang. Apjagi, olguri, dan istilah-istilah dalam perkenaan tendangan di lawan dalam bahasa korea. Sebenarnya ada beberapa macam, tapi aku lupa. Dan juga aku masih begitu lack. Bagian paling sulit bagiku adalah memutar poros kaki saat kaki yang lain menendang. Perlu banyak latihan. Coba di rumah dengan bantuan dinding, kata sunbae-nya.

Apalagi saat mencoba menendang bantalan khusus (yang aku tidak tahu namanya) yang dipegang oleh pelatih, kakiku selalu salah sasaran. Malah tanpa sengaja menendang tangan sunbaenim. Berkali-kali coba, berkali-kali juga minta maaf karena selalu salah tending. Kasihan sunbaenim-nya.

Dear sunbae, aku janji akan berusaha untuk tidak menendang tanganmu lagi.

Sekitar pukul enam lewat lima belas sore, latihannya berakhir. Kami mengadakan sesi perkenalan singkat sebelum bubar. Kami para maba memperkenalkan diri satu per satu. Tapi tak kusangka, namaku malah bisa jadi bahan candaan yang mencairkan suasana. Ternyata, ada satu senior yang namanya terdengar mirip dengan nama panggilanku, walaupun dieja dengan huruf yang berbeda. Laki-laki pula. Kurus tinggi, dan jauh lebih dewasa (dari segi umur). Ya ampun, aku sedikit malu. Saat aku bilang boleh panggil aku dengan nama panggilan lain yang biasa keluargaku pakai, mereka masih juga menolak karena nama itu juga sudah ada yang punya. Akhirnya, aku pasrah saja akan dipanggil apa oleh mereka.

Kami pun mengakhiri kegiatan dengan penghormatan kepada pelatih dan sunbaenimdeul dengan mengucapkan “GAMSAHAMNIDA!” serentak dan bersalaman. Daebak.

Untuk latihan pertama ini, efek sampingnya lumayan masih biasa (berdasarkan pengalaman Pow yang pernah ikut Taekwondo sebelumnya): kaki lecet karena terlalu banyak bergesekan dengan lantai. Ruas-ruas telapak kaki tepatnya di bawah jempol menjadi yang paling kasar dan terasa agak sakit keesokan harinya. Punggung agak kaku dan persendian lumayan pegal. Yah, masih wajar karena tubuhku bisa dibilang syok.

Semoga aku terbiasa dan bisa jadi lebih baik.

 

Terima kasih!

Author:

Menulis dan mengungkapkan pikiran serta imaji adalah jalan ninjaku.

Leave a comment