Posted in Author

Jurnal TKD #2

Hari ketiga, 3 September 2018.

Banyak hal yang menjadi hal pertama bagiku setelah bergabung di Dojang. Salah satunya, nyaris pingsan.

Hari ini jadwal latihan fisik. Latihan kali ini diadakan tidak di tempat biasa. Setelah pemanasan, kami dibawa ke luar, tepatnya di depan gedung rektorat. Lebih tepatnya, dua puluh meter dibawah gedung rektorat. Di hadapan sekitar tiga puluh anak tangga yang terbuat dari batu, kami dibariskan, kemudian di suruh berlari menaikinya hingga sampai ke helipad di atas sana.

Untuk sesi pertama hingga ketiga, aku Alhamdulillah masih aman. Namun untuk sesi keempat, aku mulai kehabisan energi. Hingga sesi terakhir, entah sesi ke berapa, jalanku mulai terhuyung-huyung. Di tangga yang ke dua puluh, aku terhenti terengah-engah. Tapi sabeum nya masih ngotot. “angkat kakinya”, “pahanya dikuatkan”, “ayo itu masa kalah sama adeknya”, sambil nunjuk jalur di sebelah kananku yang dipakai oleh bocah setinggi pinggang tapi sabuknya sudah warna warni, berlari naik turun tanpa lelah.

Yang terakhir itu loh, nyesek. Ya jelas aku malu kalau dibandingin sama anak-anak yang masih fit walau udah mengulang sekian kali. Tapi badan ini susaaaaaaah banget buat dibawa naik. Lebih parahnya, air minum kami diletakkan di bawah tembok panjat dinding milik Mapala yang jauh dari sana. Aku benar-benar kekurangan oksigen. Parah, aku mengatai-ngatai diriku sendiri dalam hati. Dasar payah, dasar lemah.

Latihan selanjutnya, pacu lari. Kami estafet mengitari helipad. Tim dibagi dua, dan aku sengaja berdiri di tempat terakhir supaya bisa setidaknya beristirahat sekejap. Timku berlari dengan kencang, dan kami hampir menang telak, sebelum giliranku. Aku yang berlari dengan seluruh tenaga yang tersisa berharap tidak tiba-tiba ambruk dapat disusul dengan mudah oleh lawan, padahal tadinya jarak antara kedua tim ini cukup jauh. Sepanjang jalan timku terus berteriak heboh karena aku nyaris menjadi penyebab kekalahan mereka. Sial, sial. Aku mengutuk diriku sendiri.

Tapi, aku tidak bisa berdusta. Aku benar-benar lost of energy. Asupan makanan terakhirku pukul 12 siang dan saat itu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Aku juga bahkan tak minum apapun. Kepalaku sudah berkunang-kunang. Dunia ini terasa seperti gempa 5 SR, mengayun tak jelas. Tanganku dingin. Perutku mual, hampir muntah. Tidak ada oksigen yang mengalir ke otakku. Dan Paw (masih ingat dia? Teman seperjuanganku) tampak khawatir luar biasa melihatku pucat pasi.

“Fay, kamu masih disini, kan?” tanyanya. Takut-takut jika ternyata hanya tubuhku yang ada, tidak bersama jiwaku.

Hahahahaahah.

Tapi bener sih, aku sudah tidak fokus dan tidak bisa meresponnya dengan baik. Benar-benar nyaris pingsan.

Tapi latihannya tidak berhenti di sana. Dari helipad, kami menuju tangga naik. Sekitar dua puluh anak tangga lagi menanti sampai kami benar-benar berada di depan gedung rektorat. Dari sana, kami harus meloncati anak tangga dengan kedua kaki, tidak berjalan atau berlari di atasnya.

Penasaran kenapa banyak banget tangga di sini? Dan kenapa semuanya terbuat dari batu?

Yah, kamu mungkin bisa menemukan jawabannya jika kamu mengetik ini di google “kampus power ranger”. HAHAHAHAHA. Tapi, tidak salah, sih. Hampir semua gedung di kampus ini bangunannya mirip sama markas power ranger,dari segi bentuk maupun bahan utamanya yaitu batu. Aesthetic gitu. That’s why maba disini dipanggil Rangers. Okey logat #Jaksel nya sampai disini aja.

Berdasarkan instruksi Paw yang gak mau aku beneran pingsan saat sedang loncat, aku memilih duduk dan mengatur pernapasan. Perasaanku? MALU BANGET. Anak-anak yang masih SD di sana masih bisa loncat sambil ketawa-ketiwi. Sementara aku terduduk tanpa energi dengan wajah pucat seperti minta ditampar dikasihani. Pokoknya, ini hari yang buruk bagiku. Tubuhku masih belum siap, dan itu buruk sekali untukku.

Sejujurnya aku adalah orang yang tidak suka terlihat lemah. Karena itu, sesaat aku membenci diriku sendiri. Percayalah, aku kecewa sama diriku sendiri. Apalagi saat sabeum-sabeum itu hanya menengok ke arahku sesekali yang seperti “menyerah” padahal “baru ini doang”. Sungguh, aku ingin menangis karena tidak suka dengan diriku sendiri.

Kami kembali ke arena panjat tebing dan beristirahat sebentar. Aku akhirnya minum dan berbaring di atas rumput, berharap aku bisa kembali fit. Namun yang ada malah semakin pusing dan mual. Akhirnya aku skip lagi latihan menendang target sekitar dua sesi, dan bergabung di lima belas menit terakhir.

Bagiku, latihan fisik pertama ini benar-benar memberi citra yang buruk bagiku terhadap diriku sendiri. Sabeum-nya berpesan agar aku lebih sering jogging atau olahraga di rumah. Dan yah, sepertinya itu hal yang sangat esensial. Dulu aku memang sempat rajin olahraga di rumah, setidaknya skipping (karena aku terobsesi dengan tinggi badan Choi Siwon. Tapi sejak libur pasca SBM, jangankan olahraga, bangun saja aku malas. Wkwkwk. Kemudian, aku disarankan untuk membawa teh manis jika latihan fisik. Oke, yang satu ini tidak akan aku lupakan. Latihan fisik selanjutnya, aku tidak akan kalah.

FYI, pada latihan ini, salah satu sunbae kami yang sabuknya sudah merah juga sempat muntah-muntah. Mungkin ini wajar kalau latihan fisik, ya? Tapi, jelas dia sampai dapat efek samping begitu hebatnya, soalnya larinya ngegas sih. Naik tangganya dengan kecepatan sekian puluh km/jam dan sesinya jauh lebih banyak. Kalau aku yang gitu, pasti turun tangganya gak jalan lagi tapi menggelindingan kayak kayu gelonggongan. Menyedihkan.

Tekadku, latihan selanjutnya aku tidak akan kalah!

Author:

Menulis dan mengungkapkan pikiran serta imaji adalah jalan ninjaku.

Leave a comment